Tuesday, March 20, 2007


NYALO


Dalam kepura-puraan, kita dapat mengatakan apa saja; misalnya, saya telah membaca dan menulis banyak hal dari buku, dalam buku. Catatan-catatan yang telah dibuat (atau dibuat-buat saja) menjadi enggan keluar. Kita lebih nyaman menyimpannya saja dan menjadikannya sebagai jimat tentang keampuhan atau cacat kelemahan diri. Atau, tak menjadikannya apa-apa karena menulis memang tak selalu untuk ditujukan menjadi apa-apa.

Dari sebuah ceceran catatan yang kami temukan –awalnya, kami mencarinya-, ada beberapa petunjuk yang kemudian rencananya akan kami gunakan sebagai semacam pegangan membaca dan menulis, telah membuat kami menjadi seperti hanya sekumpulan pengecut. Penuh gairah dan ambisi pada awalnya, lalu lembek. Kadang, pura-pura lupa, menghindar, dan dengan demikian menipu diri. Tapi di situ dan dengan itu, kami bekerja. Imajinasi yang mampet oleh hasrat bawah sadar yang tak mendapat saluran, terpaksa kami salurkan di sini.

Bagaimanapun, masih ada beberapa celah yang dapat kami isi dengan kesadaran dan kemauan: tentang optimisme, tentang sastra. Bukankah sastra adalah optimisme, yang memberi rasa betah terhadap hidup? Meski demikian, kadang ada rasa tidak betah juga bergelut di sana. Kehidupan sehari-hari memang tak usah diperlawankan dengan kehidupan bersastra. Keduanya, jalin-menjalin dan saling berjalinpilin dengan urusan-urusan lain.

Mulai edisi ini, kami berusaha untuk lebih berani menengguk gagal -merangkul salah apa salahnya, kan?-, ketimbang tak mengakui omong kosong-omong kosong yang menurut kami kadang (sering?) ada baiknya juga. Karena pada awalnya, ini semua pun berasal dari sana, termasuk kertas kosong yang kini barangkali tak menjadi lebih berarti dari sebelumnya. Sekali lagi, kami berusaha untuk menjadi lebih berani; memberanikan diri di hadapan ceceran petunjuk yang telah kami temukan itu.

Selebihnya,… anda-lah pembacanya!


NARIK

Serantang Tahi Dari Seperiuk Tahi

Oleh : Gemul

Dunia kehidupan sehari-hari (the world of everyday life) adalah suatu realitas dasar terpenting dalam kehidupan manusia. Di dunia inilah bahasa dan makna terbentuk, interaksi sosial dan komunikasi terjadi; lewat kesepakatan-kesepakatan yang dibuat, diakui, dan ditetapkan bersama, yang kemudian membentuk pula suatu harapan dan tingkah laku yang juga diakui sebagai milik bersama. Lalu apa-apa yang telah dianggap sebagai milik bersama itu ditetapkan, dilestarikan, diturunkan, dan dikembangkan secara sosial.

Bahasa sebagai salah satu aspek sosial, juga demikian. Ia mengalami proses diterima dan terberi begitu saja tanpa anggota masyarakatnya dapat menolak. Bahasa menjadi elemen utama dalam berkomunkasi, untuk berinteraksi.

Meskipun memiliki sifat tak terelakan secara sosial, bahasa bisa menjadi apa saja di tangan manusia. Ia punya aspek sebagai alat, sebagai medium yang bisa digunakan sesuai keperluan. Singkatnya, ia bersifat fungsional. Tak semata-mata untuk tukar-tukaran pengalaman, tak semata untuk bagi-terima buah pikiran. Tak selamanya bahasa hanya memiliki makna pada dasar pembentukan kehidupan sehari-hari. Mau tak mau, karena wataknya adalah budaya, ia akan bercampur baur dengan jenis penciptaan manusia lainnya: ilmu pengetahuan, kepercayaan, politik, teknologi. Karena fungsional, bahasa sangat mungkin untuk diperalat.

Bahasa terbentuk dan membentuk masyarakatnya, membawanya ke dalam struktur-struktur tertentu, dan menjadi salah satu syarat pencapaian dalam menduduki stratifikasi masyarakat yang tak mudah didapat.

Dalam konteks Indonesia sebagai bangsa misalnya, sejarah mencatat bahwa bahasa telah menjadi (dijadikan) salah satu indikator pembentuk dan pembeda antara yang pusat dan pinggiran, nasional dan daerah. Bahasa menjadi wadah penyatuan masyarakat-masyarakat yang telah memiliki bahasanya sendiri-sendiri. Kemudian menyebut wadah itu sebagai tujuan “puncak” yang harus dicapai, dan menggusur apa-apa yang berbau daerah dan menempatkan yang nasional di atas segala-galanya.

Keharusan yang nasional itu lantas dilegitimasi lewat pendidikan, lewat birokrasi, lewat formalisme, seiring dengan usaha-usaha pembentukan bangsa yang terus-menerus: satu bahasa, satu bangsa. Bahasa ibu sebagai bahasa rahim, yang ditempatkan sebagai ‘yang daerah’, yang tak (pernah) diakui sebagai bahasa resmi nasional, turut tergusur.

Tak cukup sekian. Pemaksaan kemampuan berbahasa Indonesia (yang asalnya dari Melayu) dikontrol ketat oleh kekuatan tertentu yang menunjuk diri sebagai ‘yang lain’ dan menempatkan dirinya berada di ‘luar’ untuk menentukan peran, posisi, persepsi dan tingkah laku masyarakatnya.

Orde Baru menyumbang jenis penertiban di bawah panji: gunakan bahasa yang baik dan benar, yang mencerminkan kepribadian bangsa! Dengan demikian, mereka yang merasa punya wewenang kuasa berhak menentukan apa itu yang disebut penyelewengan.

Penyelewengan bahasa adalah penghinaan terhadap bangsa: menyanyikan lagu kebangsaan sambil berak adalah pelecehan, mengganti-ubah syair lagu wajib adalah tindakan menghina, menyebut nama presiden dengan tidak hormat dan tanpa embel-embel bapak atau ibu adalah pelecehan, mencampur bahasa ibu dengan bahasa nasional selain presiden adalah penghinaan, meniru-niru logat presiden dengan tidak hormat adalah pelecehan, melakukan ini-itu adalah… melelahkan.

Sejarah seakan-akan tak pernah boleh lelah melakukannya. Sebelumnya, di jaman ketika para pejuang berperang untuk mempertahankan kemerdekaan dengan mati-mati sungguhan, masa ketika revolusi kemerdekaan berkobar, ada juga bentuk penertibannya, misalnya, atau katakanlah utamanya: dalam bidang seni (sastra). Karya-karya sastra harus menyuarakan semangat revolusioner, yang nasionalis-patriotik, dengan acuan konsep yang telah dibuat sangat tegas garis letak dan batasnya: manipol. Seni, yang mana sastra ada di dalamnya, yang sah bukan sampah adalah yang berhaluan realisme sosialis.

Sejarah memang tak pernah tegas dan pasti, apalagi beku. Tapi dalam sejarahnya, bahasa menjadi sesuatu yang harus tegas, mungkin baku.

Ada legitimasi kuat yang mendominasi bahasa untuk menjadi fungsional. Bahasa menjadi ideologis di bawah payung realisme, kecam Barthes. Ia menipu diri dan banyak orang dengan mengingkari sifat hakiki dari hubungan bahasa dan kenyataan yang semestinya arbitrer.

Realisme (sosialis) Georg Lukacs, misalnya, memandang seni sejatinya harus mencerminkan kenyataan. Ia harus merepresentasikan kenyataan yang telah dibuat porak dan hancur dari keutuhan dan totalitasnya oleh reifikasi kapitalisme. Karya seni dengan demikian adalah cermin dari kenyataan yang telah runtuh itu. Di luar itu, karya seni bukanlah karya seni. Kalaupun karya seni, ia adalah karya seni yang bobrok, produksi kapitalisme belaka, palsu.

Realisme telah membuat bahasa menjadi berwatak alamiah. Bahasa diangkat pada tataran yang stabil dan tinggal tetap bagi kenyataan. Bukankah bahasa adalah budaya – soal-menyoal yang bersangkut-paut dengan bikin-bikinan manusia, buat-buatan juga, konstruksi belaka? Juga, makna yang terhasilkan olehnya hanya permainan tanda-tanda saja?

Pandangan bahwa bahasa adalah alat penyampai pesan atau gagasan yang mengacu pada kenyataan tertentu yang pasti di luar bahasa memang tak harus dan tak bisa dipegang terus. Artinya, tak sepenuhnya bahasa ada dalam makna literal. Ia juga berwajah metafora-simbolik.

Adanya wajah metafora-simbolik ini mengisyaratkan bahwasanya bahasa bukan alat-medium penyampai pesan, pengalaman atau buah pikir semata. Tak wajib dan tak mesti dihubung-hubungkan dengan sesuatu yang ada ‘di luar sana’. Bahasa adalah ‘pikiran’ itu sendiri. Bahasa adalah pengalaman.

Hal inilah salah satunya yang kemudian memunculkan perbincangan pada wilayah penciptaan dan pembacaan sastra. Antara pengarang dan pembaca dan bagaimana posisi pengarang dan pembaca di hadapan karya.

Pertanyaan yang muncul untuk (atau dalam diri) pengarang, misalnya: sebelum karya lahir, bagaimana seorang pengarang meletakkan dirinya untuk menulis, bagaimana ia ketika menulis? Apakah sebaiknya pengarang menulis selalu dalam keadaan gembira, seperti ajakan Sutardji agar setiap penyair membikin sajaknya dengan gembira? Atau seperti Ayu Utami yang merasa frustasi menulis dalam keadaan kesepian, tapi membuatnya lebih bebas dan jujur? Atau seperti si Ayu, lagi, yang kemudian merasa ragu dengan kesepiannya: betulkah pengarang menulis dengan tak berpembaca?

Seperti katanya: ketika berbahasa, manusia tidak lagi subjek yang tunggal. Ia terbelah seperti amuba, selalu jatuh dalam sengkarut bahasa [massa] yang tak bisa ditolaknya. Alih-alih ingin membebaskan kata dari makna yang membebaninya, ia malah akan terpenjara oleh makna, oleh kata, oleh bahasa yang asal-asalnya dari bahasa massa (sosial) juga. Kata tak pernah hadir tanpa pisah dari makna, setidaknya pernah ada hubungan intim dengan makna, demikian kira-kira kata si Ayu, yang menolak gagasan bang Tardji bahwa puisi adalah mantra adalah kata yang tanpa makna. Karena sekali lagi, kata atau bahasa ada dan dihadirkan oleh manusia yang telah bersepakat.

Seorang pengarang, mau-tidak-mau, akan berurusan dengan makna pengertian dasar manusia yang terbentuk dalam kehidupan sehari-hari, dalam pengetahuan yang disebut common sense lewat bahasa sehari-hari. Dengan kata-katanya si Goen, seni dan kesusastraan berpijak dan berasal dari situasi-situasi konkret dalam arus kehidupan kita [manusia]. Yaitu, situasi-situasi yang tak sepenuhnya bisa direncana, tak bisa dipastikan apa yang akan datang dan terjadi. Bukankah sejarah tak pernah berjalan lurus, menuju suatu kondisi yang disebut ‘baik’ dan atau ‘maju’?

Lalu, apa yang membuat manusia betah dalam ketidak-sadarannya tunduk menggunakan bahasa sehari-hari dan takluk dalam otomatisasi bahasa? Tinggal dalam sesuatu yang terberi, hidup yang seperti seperiuk tahi?

Manusia memang makhluk yang tak pernah bisa utuh terus dalam dirinya, tunggal dan monoton. Manusia bukan subjek yang pasif meski harus menerima dengan rela hidup yang terberi, hidup yang tak pasti dan tak selalu bisa direncana dengan suka-suka.

Ia punya imajinasi, juga energi untuk mewujudkannya. Jika dunia kehidupan sehari-hari adalah realitas dasar terpenting dalam kehidupan manusia, maka common sense, mengikut Schutz, adalah makna dasar pengertian manusia, landasan tempat pemikiran dikembangkan melalui imajinasi. Dalam imajinasilah manusia memiliki kemampuan menciptakan image atau citra dimana banyak terjadi idealisasi-idealisasi dan bahkan ilusi-ilusi yang datangnya dari common sense, yang datang kemudian diterima begitu saja. Dengan kata lain, imajinasi adalah konstruksi sosial dalam pikiran manusia yang bekerja pada wilayah makna (istilah ini dipinjam Schutz dari William James) tertentu menurut relevansinya. Melalui konstruksi ini, citra bisa dibangun sesuai dengan wilayah makna yang menjadi titik-beratnya.

Imajinasi sastra akan melahirkan citra yang bersifat simbolik. Ia akan menekan wilayah makna lain yang tidak sesuai dengan cara kerja simbolik. Cara kerja abstraksi yang melahirkan konsep-konsep, teori, atau model, yang bekerja dalam imajinasi ilmu jelas akan diterobosnya. Imajinasi sastra adalah imajinasi yang melampaui batas-batas deskriptif suatu definisi atau konsep yang ketat yang mendisiplinkan, mengawasi, dan menguji. Imajinasi sastra adalah mencoba, mencipta, membebaskan.

Imajinasi ini kemudian membentuk dunia yang disebut fiktif (fictio –latin) melalui pendistorsian dunia sehari-hari. Ada segi-segi yang dihilangkan, direlasikan, dioposisikan, atau dimanipulasi sedemikian rupa agar beroleh makna-makna semiotis yang tanpa sudah. Barangkali, di sinilah letaknya pengarang menulis: bergelut dengan bahasa menggunakan imajinasinya. Kalau ia pengarang sastra, jelas yang harus ia utamakan adalah imajinasi sastranya, dan bukan yang lain.

Dan begitu suatu karya lahir, ia menjadi dunia fiktif yang terbuka, teks yang terbuka. Tempat setiap orang bebas mengupas dan menentukan makna untuk dirinya. Dunia yang bebas dijelajah dan dinilai lewat tafsir untuk memproduksi makna (-makna) baru.

Dalam dunia inilah kita bisa bertemu seseorang yang dengan sukarela makan serantang tahi dengan gairah sungguh. Seperti dalam kehidupan sehari-hari, ketika suatu kali, kita pernah bertemu dengan seseorang dan melibatkan diri dengannya. Aku pernah bertemu dengan seseorang itu –kini kami bersahabat, seorang sahabat yang memakan serantang penuh tahiku dengan tawa, lagu dan guraunya. Aku pikir ia gila, tapi ia kira aku yang gila. Aku pikir ia gila karena lapar empat hari tak makan dan makan tahiku. Aku katakan ia gila, ia tertawa. Tapi tak gila, tak lagi lapar. Sebentar ia minta rokokku dan merokok. Minta uang buat kopi tapi menolak ketika kuberi lebih. Dia pergi.

Lalu siapa yang kau temui?


NGEPLANG


Aku Janji Menciummu Tahun Depan, Nduk!

(Hanya Sebuah Percakapan)

oleh : Emka Wahyu Jati.


Malam memaksa kita untuk saling membeberkan cerita, namun bukan cerita cinta! Belum bercerita cinta maksudku. Kita berbincang tentang ketergantungan dan atau keterpengaruhan yang menghentak! Kamu berbicara tentang dirimu yang perempuan, tentang dirimu yang protes karena perempuan, tentang dirimu yang lelah sebagai perempuan yang protes karena budaya tidak berpihak kepada perempuan. Sebuah hentakan perasaan!

Malam masih memaksa kita untuk membeberkan cerita! Kita bercakap tentang ketergantungan dan atau keterpengaruhan yang menghentak. Aku membicarakan diversitas sebagai perbedaan yang gemuruhnya adalah keinginan-keinginan yang menggantung, keterperangahan atas beberapa peristiwa dan pelaku peristiwa yang menghitung jejak dan hari-hari di balik jeruji ketergantungan. Juga, tentang ingatan atas gedung satu, gedung agung, bedug, lonceng, istana dan beberapa penjara yang melahirkan kekuasaan dimasa lampau serta juga masa kini. Semuanya adalah tempat bagi terbangunnya imagi dan inspirasi.

“Ingatan dan kelupaaan adalah juga pengetahuan ‘kan, Nduk? Maksudku,jika kita pernah mengingat satu hal dan masa yang lain ada yang terlupakan, itulah normalitas manusia yang luput dari pembacaan.

Seperti ingatan akan sebuah jalan yang dibangun untuk kelancaran transportasi, toh tak bisa dikatakan sebagai satu-satunya situasi yang mendorong laju keinginan manusia. Kita butuh kendaraan yang menjemput kita di terminal, stasiun, bandara dan pelabuhan. Jalan mungkin hanya perantara dari gerak maju jaman yang terus menerus mengalir bagai air di kaki gunung merapi merbabu –andong berkelok menuju pelabuhan di pantai selatan. Jalan, seperti juga sungai, adalah perantara yang mempercepat perjalanan amal baik dan sejarah manusia. Mungkin juga di sana ada perjanjian dan tawar menawar yang berlaku sebagai batas dan pagar amal baik. Ingatlah, amal baik dihadirkan oleh keinginan yang kuat; iman dan ketulusan. Jika kita pantas mendapatkan surga dan neraka sebagai hukuman atas amal baik dan amal buruk kita, saat ini mari kita bicara tentang kebaikan dan keburukan maupun suatu hubungan yang berlawanan namun tak bisa dipisahkan dari nyata dan sejatinya hidup sebagai kerja.”

Panjang lebar aku melepaskan hentakan dalam pikiranku tanpa bermaksud sombong akan pengetahuan, namun semata kejujuran akan sebuah pengetahuan.

Kutunggu beberapa waktu untuk mendapatkan komentarmu. Tak terdengar apapun. Hanya desahan angin malam yang dihembuskan tanpa bisa kubedakan itu dari mulutmu atau dari puncak-puncak gunung dimana kita berada, di lerengnya. Di bawah mendung musim kelima dalam hitungan jawa waspa kumembeng ing sajeroning kalbu.

Sesaat aku menjadi bosan berbicara tanpa ada kesepakatan emosional. Aku kira dia juga bosan dengan pembicaraan tanpa ada benang merah wacana maupun konteks. Kucoba memaksa dia untuk kembali sebagai perempuan dan aku sebagai laki-laki.

Inilah awal dari malam yang memaksa kami bertutur tentang cinta.

“Dulu kamu pernah kuajak menjalin hubungan, kenapa kamu menolak, Nduk? Itu bentuk kesombongan sesaat perempuan atau kesepakatan para perempuan?” aku memulai dengan sebuah pertanyaan sarkastik.

“Maksudmu apa?”

“Bagiku kebanyakan perempuan itu munafik! Selalu memulai dengan penolakan, bahkan ketika hatinya mengatakan tertarik”

“Kamu sukanya memukul rata semuanya, Ko! Kalau ingatan dan kelupaan itu bentuk pengetahuan, mungkin kamu lupa menegasikan bahwa kesombongan itu juga bentuk dari pengetahuan. Perempuan dipaksa, Ko! Untuk menjadi sombong dan munafik. Karena itulah posisi tawar atas kebusukan nafsu dan gairah laki-laki yang diecer!”

Sungguh menarik dan keras ucapan perempuan yang juga kukagumi kecantikannya ini.

“Lumayan rasional,” jawabku dengan menahan ekspresi kekagumanku dan aku pura-pura menganggukkan kepala. “Kalau begitu, bagaimana dengan ketertarikanmu dulu padaku, Nduk? Bukankah ketakutan akan cap yang dibaptiskan padaku mengalahkan perasaan itu?”

Terjadi perubahan ekspresi wajah pada raut cantik di depanku.

“Kita harus jujur lho, Nduk! Wis padha gedhene, to?” kuajak dia untuk membangun kesepakatan emosional.

“Jujur, Ko! Tekan saiki aku isih tertarik karo kowe!” jawabnya tanpa melihatku. “Dalam batasan tertarik, iya! Belum bisa dikatakan cinta atau istilah yang lainnya,” buru-buru ia menambahkan.

Aku tersenyum tanpa pura-pura; tak peduli dia mengartikan ini sebagai bentuk kemenangan atau kelucuan. Aku tidak peduli. Karena aku tak pernah memaknai arti suatu senyuman.

Ngumbara ing awang-awang, angelangut bebasan tanpa tepi

Nerabasing mega mendung, mubeng ngiteri jadad

Ngulambara-nglembara ngunggahi gunung

Katungkul ngudhar gagasan

Satemah digawa ngimpi

Sebuah kidung pangkur dikidungkan oleh seseorang di dalam padepokan. Di mana kami berada di serambinya. Aneh rasanya, ada sebuah perasaan merinding di sela-sela sebuah kidungan malam di kampung lereng gunung ini.

“Sebagai perempuan, aku selalu sakit melihat kamu dan daya tarikmu merangkul perempuan, merayu. Aku selalu menutup telinga ini saat mendengar kamu mengatakan: mari kita bergandengan mengitari semesta, satu rindu kita ini untuk bersama, satu rindu kita ini untuk berdua. Atau saat kamu bilang: kita telah menikah, sayang! Bukan dinikahkan oleh lembaga pemerintah maupun agama, namun kita telah dinikahkan oleh sejarah.”

“Menyakitkan, Ko! Kamu itu gila! Aku mengakui kamu menarik, kamu cerdas dan selalu mampu menempatkan kecerdasanmu secara tepat. Namun, perbuatanmu itu apakah pernah kamu pikirkan secara baik-baik? Mereka, para perempuan itu, bodoh, Ko! Mereka hanya belajar untuk dijadikan obyek, tidak lebih. Kamu jahat, Ko!”

Luka di pikiran tak bisa dibawa sembunyi, luka di hati tak bisa di bawa lari. Dari mana perempuan itu mengerti semuanya? Aku tak pernah menceritakannya kepada siapapun, atau....

“Benar yang kamu pikirkan, kami para perempuan selalu bercerita satu sama lain. Kami selalu membandingkan antar laki-laki sebagai bahan pembicaraan. Maksudku, kamu pun menjadi porsi dalam pembicaraan kami.”

Perempuan di depanku mengakui semuanya itu tanpa aku harus bertanya.

Aku hanya bisa mengiyakan semua tuturannya seraya memandang bibirnya yang seakan tak terbuka saat bertutur. Kupegang pipi perempuan itu tanpa keinginan apa-apa.

“Itu dulu, Nduk! Dan aku berterima kasih kepada mereka dengan tambahan minta maaf tentunya. Dan mereka menerima maafku. Kamu tahu kan, ada sesuatu yang tak terjelaskan dari bangunan hubungan itu,” aku mencoba membela diri.

“Perasaan itu keterhubungan, Nduk. Tidak searah. Kami saling mengerti, kami saling berpelukan, kami saling mencium, kami saling menyentuh, kami saling bercinta dan bersetubuh. Bukan hanya aku yang mencium, bukan hanya aku yang memeluk, bukan hanya aku yang menyetubuhi, dan semuanya bukan hanya aku. Kami selalu melakukan bersama. Bisa dimengerti, Nduk?”

Dia hanya menunduk. Tanganku masih menempel di antara pipi, telinga dan rambut panjangnya.

“Kamu terlalu sentimentil, Nduk! Lihat mataku!” kuteruskan percakapan rasa ini. “Situasinya sama seperti saat ini. Kamu tertarik denganku, aku tertarik denganmu. Dan kita menyepakati ini bukan perasaan cinta. Keinginan ini semata karena aku adalah laki-laki dan kamu adalah perempuan. Titik. Dan mungkin aku akan menciummu karena perbedaan itu. Mungkin kita akan berpelukan, mungkin kita lanjutkan dengan bercinta dan bersetubuh namun tanpa ada kata-kata cinta! Semata-mata karena aku adalah laki-laki,dan kamu adalah perempuan.”

Perempuan itu telah berada dalam pelukanku, memejamkan mata. Malam tetap menjadi malam dan mendung tetap menjadi mendung. Karena ini adalah musim kelima dalam hitungan Jawa, waspa kumembeng ing sajeroning kalbu, air mata mengantung di dalam pelupuk hati, mendung tidak akan menjadi hujan.

Keinginan ini tidak akan membuatku menjadi pemenang. Maksudku, aku tidak akan menjadi pemenang. Sudah terlalu sering aku dianggap sebagai pemenang oleh kaum dalam pelukanku ini. Kali ini tidak. Keinginan biarlah tetap menjadi keinginan. Biarlah keinginan menjadi kenangan.

“Kenapa kamu tidak menciumku, Ko?” suara lembut perempuan itu terucap. “Kita menginginkannya ‘kan, Ko?”

Aku diam. Kulepas pelukanku dari kehangatan tubuhnya. Ia memandang dengan penuh pertanyaan.

“Kenapa, Ko?”

“Tidak, Nduk! Aku tidak akan menciummu saat ini, biarlah keinginan ini tetap menjadi keinginan antara laki-laki dan perempuan,” jawabku.

“Kalau aku menciummu malam ini, aku tidak bisa menjamin suatu kelanjutan hubungan yang baik, yang tidak merusak apapun. Kalau aku menciummu malam ini, kamu akan menjadi kalah dan aku menjadi pemenang. Atau mungkin sebaliknya. Tolong dipahami!” lanjutku.

Cukup lama keheningan meminta ruang dan waktu di tempat dimana kami berada. Seakan memberi kami kesempatan untuk memikirkan seluruh percakapan kami malam ini.

“Aku paham, Ko.” Sambil menghela nafas panjang, perempuan itu bertutur, “Maukah suatu saat nanti kamu berjanji, jika aku telah menikah dan aku tidak peduli kamu sudah menikah atau belum, sekali lagi maukah kamu menjalin hubungan dengan aku sebagaimana yang kita inginkan tadi?”

Terus terang aku terhentak. Perempuan ini....? Aku menggelengkan kepala.

“Tolong ulangi,” kataku.

Tanpa ragu dia mengulangi, “Maukah kamu berjanji untuk suatu saat nanti, jika aku telah menikah dan aku tidak peduli kamu sudah menikah atau belum, sekali lagi maukah kamu menjalin hubungan dengan aku sebagaimana yang kita inginkan tadi?”

“Tidak tahu, aku tidak tahu... Namun, aku berjanji, aku akan menciummu tahun depan, Nduk,” jawabku.

“Maksudmu?”

“Ya, aku hanya berjanji akan menciummu tahun depan. Aku bilang aku janji menciummu tahun depan. Titik!” jawabku. “Sekarang sudah hampir pagi, kamu harus tidur. Besok kamu harus mendampingi pentas teater di padepokan itu, kan? Jadi malam ini kamu harus istirahat. Aku juga harus pulang!” selaku mencoba memotong gejolak perasaan.

Berat langkah kaki meninggalkan serambil pedepokan ini seberat pertanyaan yang tersisa di pikiran dan hatinya. Sebuah pertanyaan dan janji yang akan terjawab tahun depan. Pasti terjawab tahun depan! Saat dia mungkin telah menikah dengan kekasihnya, atau bahkan sebaliknya. Namun kubilang pada diriku, aku janji akan menciumnya tahun depan.

Tutup Ngisor Merapi

12 02 2002



Letters from Heaven

Oleh Cindy Hapsari


Sedang apa kamu di sana?

Aku mau menutup hari dengan mendengar rintihan kecilmu.

Sudah tentu, itu melegakan aku. Kenapa kamu selalu tidak percaya? Ah, kamu sibuk sih.. sampai-sampai tak sempat sisakan waktu untuk sebentar membeku. Coba bayangkan peristiwa yang mengkristal!

Hmm… peristiwa yang membeku jadi es batu.

Apa kamu bisa merasakan lelehannya mencair di mulutmu atau menyentuh lengan tanganmu? Dan, kemudian, ia membanjiri tempat di mana kamu berdiri, Fseloin? Haha, pasti rasanya seperti tercekam sekat, atau sama seperti ketika kamu sedang

tersedak jangkrik yang tiba-tiba melompat ke dalam mulutmu..

Pasti seperti merasakan gulungan-gulungan jejak yang mengambang dan minta diurai cepat-cepat! Maaf, aku melantur!

Sudahlah… yang jelas kamu tak perlu paksakan diri untuk

membayangkan hal itu.

Fseloin,

apa kabarmu hari ini? Aku dengar kamu baru saja mati dua hari lalu? Tadinya kupikir kabar burung tapi baru sore tadi kulihat nisanmu jalan-jalan mengambang di udara. Di mana kuburanmu? Katanya di kampung X sebelah dusun Y, ya? Niatmu kesampaian dong, tinggal menetap ditepi sungai A: tepat di episentrum Empat Gunung di Jawa ini?

Ngomong-ngomong di mana kamu pesan nisan dari air dan pahatan nama dari api? Waduh, kamu bikin aku iri.. aku bahkan tak sempat memesan apa-apa sebelum aku tiba di tempat ini.

(Tapi aku bingung.

Aku masih tidak yakin apakah kamu benar-benar sudah mati?

Kalau kamu benar sudah mati kenapa kita tidak bertemu, ya?)

Aku benar-benar capai malam ini. Tapi surat ini harus selesai.

Aku tak mau mengulang gelo untuk yang kedua kalinya dalam hidup. Cukup yang pertama tentang kamu di saat itu. Tapi, tidak yang kedua tentang kamu lagi. Aku tahu suatu saat kamu pasti datang dan surat ini pasti akan kamu balas sama seperti surat-suratku yang terdahulu. Jadi, ini sepenggal untukmu, sepengal untuk keabadian kita dan sepenggal untuk waktu di mana kita selalu bermasturbasi dengannya.

Fseloin, seandainya aku dapat bertemu denganmu, aku tidak akan banyak bertanya padamu. Pertanyaan pertamaku padamu cuma satu! Aku cuma mau tahu:

siapa yang akhirnya berhasil bisa membunuhmu?

Aku sedih mendengar berita kematianmu sebab ternyata bukan aku yang berhasil membunuhmu! Ah, kamu tak akan paham betapa perasaan ini menggelayut mendengarmu pergi.

Ah, kenapa kamu tidak percaya saja padaku? Kalau saja kamu mau, kita pasti akan jadi pemenang. Eh, maksudku, tak ada seorangpun dari kita harus melalui akhir yang seperti ini.

Kamu benar-benar jahat membiarkan aku melihat kematianmu ketika kamu tahu aku tak bisa menjamahmu lagi! Kamu tai, Fseloin! Tai yang aku cintai sangat…. Sial!

Hi Jesus! I hope u’re fine out there.

Apa kabarmu juga? Aku dapati suratmu mengantung di ranting-ranting yang patah dari tubuh**. Aku rindu kamu ! Dan benar, kemarin beberapa hari lalu-, aku memang mati. Ternyata, rasanya asyik; tepat seperti yang kukira. Bagaimana dengan kamu? Apa masih merasakan adrenalin yang sama?

O`ya, tentang pertanyaanmu kemarin, aku tak bisa jawab! Bukan aku tak mau menjawab tapi sepertinya aku sendiri tak tahu siapa yang telah berhasil membunuhku. Kemarin-kemarin itu aku cuma merasa terpenjara. Tapi, aku jelas mati setelah membaca suratmu tepat sebelum kau menggantungkannya di ranting-ranting itu!

Niat-niat itu melesat cepat bahkan mendahului kumpulan bintang jatuh. Mereka menikamku tepat di sini! Menikam tepat di hati!

Tak usah cari aku lagi! Aku sebentar saja disini. Ini malam ketiga, aku harus cepat-cepat pergi! Aku harus selesaikan drama tiga-babak ini secepatnya. Baik-baiklah, Jesus!

Fseloin.

***

Kata-kata!

Sepertinya, yang membunuhmu adalah kata-kata. Harus kukatakan cuma kata-kata atau malah jangan-jangan justru karena ia adalah kata-kata? Fseloin, apa kamu tidak pernah bertanya di mana kebenaran hinggap? Mungkin kata-kata sama seperti kupu-kupu dan kebenaran boleh saja melekat padanya!

Fseloin!

Aku laki-laki yang telah membunuh diriku sendiri. Aku sudah mati! Kamu juga! Tapi ternyata kamu juga pembunuh, Fseloin. Kamu membunuhku dengan kematianmu.Tapi kita tak juga bertemu secara nyata. Ke mana kematian akan menakdirkan kita? Karena mata pelosok kebenaran cuma tinggal separuh. Dan, separuh itu tinggal milikmu. Kutunggu kau untuk mengambilnya disini.

Datanglah semaumu!

***

Jesus, aku dengar suaramu dari awan yang kemarin siang melaju di depan mukaku. Mereka kepanasan membawa suaramu. Warnanya menjadi merah seperti bisul yang dua hari lagi akan pecah! Kasihan mereka! Maka, kupetik saja ia sepenggal. Buntutnya jadi terlihat sedikit patah.

Ah, kenapa harus titipkan kata lewat awan? Kasihan mereka didera ingatan demi mengenang sebuah cerita. Aku tak mau menyimpan mereka dalam kantung bajuku. Ini, kukembalikan saja padamu!

NGENEK


Kapankah Sastra Menjadi Panglima?



Balai Bahasa Yogyakarta sedang ramai sewaktu Jalur Pitu (JP) datang. Di sebuah ruangan terlihat beberapa pelajar SMU dan mahasiswi cukup antusias mengikuti pembicaraan tentang bagaimana membuat cerita pendek yang bermutu. Mereka adalah para nominator yang akan diikutkan dalam lomba penulisan cerpen remaja tingkat nasional. Dan di hadapan para remaja itu duduk salah seorang pembicara yang segera kami kenali sebagai Herry Mardianto, pendiri sekaligus koordinator Sanggar Sastra Indonesia Yogyakarta. Lelaki kurus kecil itulah yang kami cari. Selesai menjadi pembicara untuk para remaja itu, kami segera menemuinya dan mengutarakan maksud kami: wawancara. Tetapi pria yang ramah dan murah senyum itu berusaha untuk menolak dijadikan tokoh. Saya ini bukan siapa-siapa, katanya rendah hati, mungkin malu-malu. Tetapi perjuangan belum selesai hingga akhirnya JP berhasil melakukan wawancara dan bertukar pikiran.

Herry Mardianto adalah sarjana sastra Indonesia lulusan Fakultas Sastra UGM, bekerja sebagai staf peneliti Balai Bahasa Yogyakarta. Sejak duduk di bangku SD sudah gemar membaca sajak atau deklamasi, meskipun kegiatan berteriak-teriak membaca puisi saat itu dianggap kegiatan “orang gila”. Kesenangannya tersebut barangkali ada kaitannya dengan darah seni ibunya yang senang menyanyi keroncong. Ketika kuliah di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya)UGM, pria kelahiran Magelang itu pun mulai “belajar” menulis puisi, mendirikan kelompok musik Watoni (waton muni) dengan tugas pokoknya: membuat syair lagu.

Selain aktif menulis, lelaki yang juga menjadi dosen tamu Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma ini sangat menaruh perhatian pada kegiatan sastra remaja, memberi pendampingan bagi pelajar SMU yang ingin mendalami seni (meliputi drama/teater, pembacaan puisi dan cerpen, serta penulisan puisi dan cerpen). Pendampingannya terhadap para remaja tersebut diwadahi dalam Bengkel Sastra dan Sanggar Sastra Indonesia Yogyakarta. Berikut petikan wawancara dengannya:

Bisa dijelaskan tentang Bengkel Sastra dan Sanggar Sastra Indonesia Yogyakarta yang selama ini Anda kelola?

Bengkel Sastra adalah program tahunan Balai Bahasa Yogyakarta untuk pelajar-pelajar SMU. Jadi setiap tahun, kami mencari pelajar SMU yang berminat pada kegiatan seni dan sastra untuk mengikuti pelatihan setiap minggu selama enam bulan. Kegiatannya antara lain latihan teater/drama, apresiasi puisi dan cerpen serta penulisan puisi dan cerpen. Tahun kemarin anak-anak yang ikut pelatihan menerbitkan buku kumpulan puisi dan cerpen. Nah, yang menjadi keprihatinan adalah selepasnya anak-anak itu ikut program balai bahasa, mereka tidak lagi punya wadah untuk belajar bersama yang dapat menampung apresiasi mereka, karya mereka, seperti halnya ketika mereka masih ikut latihan di Bengkel Sastra. Karena itulah saya kemudian berinisiatif mendirikan Sanggar Sastra yang dapat menampung mereka. Eman-eman kalau bakat dan keinginan mereka terkubur setelah mendapat pelatihan. Apalagi mereka adalah remaja yang seringkali memerlukan teman untuk belajar bersama, dalam hal ini sastra. Ya sudah, mari belajar bersama saja di Sanggar Sastra.

Apakah yang ikut Sanggar Sastra adalah mereka yang pernah ikut Bengkel Sastra semua?

O tidak... ada juga remaja yang tidak ikut di Bengkel tapi bergabung juga bersama kami di Sanggar. Kami terbuka saja, kok!

Sebenarnya, bagaimana awal ketertarikan anda pada sastra? Termasuk, sastra sendiri memiliki arti atau makna apa bagi anda?

Pada awalnya saya memilih kuliah di Fakultas Sastra karena dendam terhadap guru bahasa Indonesia yang memberi saya nilai kurang memadai. Berangkat dari situ, saya ingin membuktikan bahwa nilai yang diberikan itu salah. Dalam proses selanjutnya saya sampai pada suatu kesadaran bahwa meskipun selalu diremehkan orang, ternyata sastra dapat menjelma menjadi semacam watu wungkal –alat untuk mengasah benda-benda tajam –yang mempertajam mata hati dan nurani. Meskipun demikian, di sisi lain, pesimisme terhadap sastra seringkali muncul sebagai kasak-kusuk di tengah kita: mengapa kita menggeluti sasstra, apa yang dijanjikan sastra bagi masa depan, bukankah sastra tidak lebih dari sekedar hiburan, dan di tengah kultur pembangunan (di) Indonesia yang relatif tidak mengakomodasikan atau kurang menyediakan peluang-peluang bagi terapresiasikannya seni sastra, siapa yang mau dengan sepenuh hati memperjuangkan dunia sastra di tengah suasana hidup yang mendewa-dewakan masalah ekonomi dan politik dengan pengedepanan efisiensi rasio, kekuasaan, ketertiban serta keamanan? Benarkah sastra menjadi barang rongsokan yang patut ditendang-tendang bagai bola? Bagi saya, “kehebatan” sastra terlihat dari sifatnya yang “pasemon”, dapat hadir sebagai wakil dari suara rakyat untuk menggugat penguasa. Gugatan tersebut dapat berkaitan dengan pemapanan kekuasaan negara, hegemoni pembangunan, dsb. Saya sepakat dengan Goenawan Mohamad yang menulis bahwa sastra merupakan pasemon: semacam sindiran yang sangat halus, yang menyarankan “sesuatu yang bukan sebenarnya tetapi mendekati sifat tertentu”. Jadi, dalam pasemon, makna hadir bukan dengan menceritakan sesuatu “sebagaimana adanya”, tetapi dengan menceritakan sesuatu yang lain dari yang sebenarnya hendak dikatakan. Dengan kata lain, sastra dapat dipahami dengan melihat sejauh mana dia mampu merepresentasikan dan atau memisrepresentasikan kenyataan atau ideologi yang dominan.

Mengapa memilih sastra remaja sebagai konsentrasi “pekerjaan anda”?

Di tengah klenger-nya sosialisasi dan pengajaran sastra, beberapa pihak meyakini bahwa masih ada kesempatan untuk membangkitkan dunia sastra. Banyak orang keminter yang hanya bisa berteriak-teriak bahwa dunia sastra kita sudah payah, kita perlu mensosialisasikan sastra, dunia sastra adalah dunia marjinal; tanpa berbuat apapun dan hanya terus berteriak-teriak tak berkesudahan. Saya merasakan bahwa kurangnya minat terhadap sastra karena sejak kecil kita tidak lagi dibiasakan dengan kegiatan mengarang (apalagi menulis kreatif), tidak diberi kesempatan mengapresiasi kareya sastra, tidak mendapat pelajaran bagaimana cara membuat dan membacakan karya sastra. Bolehlah dikatakan bahwa selama kanak-kanak hingga lulus SMU kita hampir tidak memperoleh pengalaman bersastra kerena yang dijejalkan kepada kita hanyalah pengetahuan sastra dan itu pun tak lebih dari hapalan bahwa si anu menghasilkan ini dan termasuk dalam angkatan itu-tuh….. Siswa SMU saya anggap sudah mampu berpikir jauh ke depan dan mampu berimajinasi serta berekspresi dengan kesadaran mereka sendiri. Saya lebih bisa memberi pengertian kepada mereka bahwa sastra itu adalah santapan yang harus selalu dinikmati. Selain itu saya berupaya memberi pengertian kepada mereka bahwa sastra bukan sekedar knowledge seperti yang diajarkan di balik tembok sekolah. Maka saya “hasut” mereka untuk mencintai sasstra dengan cara mereka sendiri. Kita lalu kumpul bicara ngalor-ngidul, berlatih membaca puisi, mengapresiasi dengan cara masing-masing, pentas dramatisasi puisi. Komunitas seperti yang saya bangun hanya membutuhkan dua syarat pokok: enjoy dan memiliki sense of humor; tak ada garis komando.

Idealisme Anda mengenai sastra?

Sastra harus memasyarakat dan dianggap perlu untuk mengasah hati nurani. Sastra harus mampu menjadi mata pisau yang menyadarkan orang bahwa hidup harus berbudaya, mempunyai kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas pada persoalan politik dan ekonomi. Saya mendambakan kapan satra menjadi panglima di negara yang bernama Republik Indonesia ini?

Karya-karya Anda sendiri bagaimana?

Ha…ha…ha… sudah lama saya ingin menulis cerpen tapi tak pernah selesai. Padahal banyek ide cerita yang berseliweran. Beberapa puisi saya tulis untuk antologi yang diterbitkan oleh Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia UGM. Salah satu puisi saya dimuat dalam buku Antologi Penyair Universitas Gadjah Mada yang diterbitkan oleh UGM. Saya baru membuat puisi kalau ada pesanan untuk diterbitkan dalam antologi. Selain itu dulu saya juga mengirimkan puisi ke beberapa radio swasta untuk dibacakan. Di luar itu, saya menulis artikel atau esai sastra untuk beberapa media massa.

Proses kreatif penciptaan puisi Anda?

Bagi saya, menulis puisi itu tidak mudah, tidak sekedar menyusun kata-kata. Harus ada suasana yang “greng”. Saya menulis puisi jika melihat ketidakadilan, kecemasan, rasa frustasi, ingatan kepada maut dan Tuhan. Saya perlu waktu dan suasasna untuk sampai ke dalam momen puitik. Puisi saya tidak sekali jadi, ia pasti mengalami beberapa kali revisi sebelum saya anggap benar-benar jadi.

Bisa kami mendapatkan karya-karya Anda?

Ya, sebagai contoh saya berikan salah dua puisi saya.

(pusi Herry Mardianto bisa dibaca pada kolom puisi)

Baik, terima kasih atas waktunya, Pak. Selamat berkarya!

Ya…. Sama-sama.

Tuesday, December 27, 2005

SETOR




Beberapa Alternatif Studi Sastra:

Sebuah Tawaran Studi Sastra Serius?




Judul Buku : Studi Sastra Beberapa Alternatif

Penulis : Tirto Suwondo

Penerbit : Hanindita

Cetakan : I, 2003

Halaman : 180 hlm




Di tengah ekses negatif hiruk-pikuk budaya pop, sindrom voyeurism, konsumerisme, dan dinamika proses produksi (barang-jasa, isu, wacana, pengetahuan) yang mengarah pada proses pendangkalan (banality) potensi kemanusiawian, khususnya apresiasi, kehadiran buku Studi Sastra: Beberapa Alternatif (SSBA) karya Tirto Suwondo (TS) ini cukup melegakan. Paling tidak, tercipta satu ukuran pembanding yang dapat diangkat (di-blow up) sebagai satu isu dalam satu diskursus sastra, atau kemudian terbuka ruang atau wacana apresiasi atau kritik sastra secara serius.

Apa ukuran keseriusan itu? Salah satu jawaban yang yang dapat diberikan, apakah tercipta pemahaman yang lebih baik, semakin mendekati atau menjauhi kebenaran...dengan atau tanpa mengabaikan dimensi estetisnya, keindahan dari cerlang kebenaran (splendor veritatis) (?) Secara meyakinkan, TS mengutip pendapat Popper dalam pendahuluan yang kutip oleh Andre Lefevere (dalam tulisannya yang berjudul A Polemical and Programmatic Essay on Its Nature, Growth, Relevance and Transmission, selanjutnya paradigma pemikiran di dalamnya dijadikan sebagai referensi dalam SSBA ): bahwa tujuan ilmu pengetahuan , termasuk di dalamnya ‘studi sastra’, adalah untuk mencapai suatu kebenaran atau setidaknya yang paling mendekati kebenaran (SSBA. Hlm. 6). Memang, rumusan ini agak bias –apa lagi ketika masuk dalam perdebatan metodologi- ; bisa pula ditafsir secara ambigu: persoalan itu sudah digeluti dan di formulasikan sebelumnya, atau merupakan indikator dari argumentum ad verecordiam. Hal itu memang menimbulkan perdebatan yang cukup panjang; di sini tidak cukup hanya menjadi sebuah catatan yang perlu diingat saja.

Banyak orang berasumsi bahwa ‘keterampilan pragmatik’ dalam memahami dan menguraikan atau kembali menyusun realitas yang yang diobjektivasi dalam suatu rumusan (formulasi) menjadi anak kunci untuk sampai pada cakrawala pengetahuan yang lebih luas. Ini pun tampaknya berlaku hampir sama dalam SSBA. Syarat yang harus dipenuhi adalah kesahihan paradigma yang digunakan –entah tunggal atau jamak. Jelas, kemudian penalaran macam ini bersifat deduktif –pengambilan konklusi tidak langsung, berbijak pada kebenaran tiap premis atau proposisinya. Pemahaman atas metodologi menjadi penting di sini. Padahal, peluang perdebatan metodologi (entah kemudian mengerucut pada perdebatan epistemologi) masih terbuka. Penekanan variabel A,B,C selalu memungkinkan pengabaian variabel D,E,F,dst ; hal ini membuka peluang (ruang) terjadinya perdebatan.

Di sisi lain, metode yang dipakai untuk mendekati suatu kebenaran atas jawaban dari sejumlah persoalan, tak jarang, justru menentukan realitas yang dipahami yang kerap kali berada pada ‘rel lain’ dari kawasan kenyataan. Dalam hal ini, TS telah memberikan rambu-rambu peringatan berkaitan dengan masalah itu pada bagian pendahuluan SSBA misalnya dinamika dialektika ‘tesis antites sintesis’ teori yang dijadikan dasar untuk menjawab persoalan bagaimana posisi teks, pengarang dan pembacanya.; teks bersifat heteronom atau bersifat otonom yang kemudian menentukan posisinya terhadap pengarang maupun pembaca –persoalan yang formulasikan dalam distingsi biner yang jelas sarat akan reduksionisme(?) Secara padat alur kronologisnya (periodisasinya), dipetakan oleh TS dari formalisme sampai dekonstruksi (Lih. SSBA. hlm. 15).

Memang, kemudian, ini hanya menjadi pengantar yang amat singkat untuk menjembatani pemahaman atas beberapa alternatif studi sastra yang ditawarkan TS. Tepatnya, TS menawarkan sepuluh model analisis (apresiasi) sastra –tentu lengkap dengan contoh soalnya- dari studi sosiologis Hippolyte Taine, studi fungsi pelaku dan penyebaran Vladimir Propp, studi struktur aktan dan fungsional A J Greimas, studi struktural dalam aspek sintaksis, semantik dan verbal model Tzvetan Torodov, studi stuktural melaui sistem kode Roland Barthes, strudi struktural antropologis Levi Strauss, studi dialogis Mikhail Bakhtin, studi pragmatik M H Abrams, studi intertekstual Julia Kristeva, sampai pada studi stilistika Wellek & Waren. Jelas, buku ini menjadi amat padat, tetapi bergizi tinggi –baik untuk mempertajam penalaran. Bagaimana bagian detilnya dapat dijelaskan? Tentu, uraian detil atas hal itu dapat dibaca dalam SSBA.