Tuesday, March 20, 2007


Letters from Heaven

Oleh Cindy Hapsari


Sedang apa kamu di sana?

Aku mau menutup hari dengan mendengar rintihan kecilmu.

Sudah tentu, itu melegakan aku. Kenapa kamu selalu tidak percaya? Ah, kamu sibuk sih.. sampai-sampai tak sempat sisakan waktu untuk sebentar membeku. Coba bayangkan peristiwa yang mengkristal!

Hmm… peristiwa yang membeku jadi es batu.

Apa kamu bisa merasakan lelehannya mencair di mulutmu atau menyentuh lengan tanganmu? Dan, kemudian, ia membanjiri tempat di mana kamu berdiri, Fseloin? Haha, pasti rasanya seperti tercekam sekat, atau sama seperti ketika kamu sedang

tersedak jangkrik yang tiba-tiba melompat ke dalam mulutmu..

Pasti seperti merasakan gulungan-gulungan jejak yang mengambang dan minta diurai cepat-cepat! Maaf, aku melantur!

Sudahlah… yang jelas kamu tak perlu paksakan diri untuk

membayangkan hal itu.

Fseloin,

apa kabarmu hari ini? Aku dengar kamu baru saja mati dua hari lalu? Tadinya kupikir kabar burung tapi baru sore tadi kulihat nisanmu jalan-jalan mengambang di udara. Di mana kuburanmu? Katanya di kampung X sebelah dusun Y, ya? Niatmu kesampaian dong, tinggal menetap ditepi sungai A: tepat di episentrum Empat Gunung di Jawa ini?

Ngomong-ngomong di mana kamu pesan nisan dari air dan pahatan nama dari api? Waduh, kamu bikin aku iri.. aku bahkan tak sempat memesan apa-apa sebelum aku tiba di tempat ini.

(Tapi aku bingung.

Aku masih tidak yakin apakah kamu benar-benar sudah mati?

Kalau kamu benar sudah mati kenapa kita tidak bertemu, ya?)

Aku benar-benar capai malam ini. Tapi surat ini harus selesai.

Aku tak mau mengulang gelo untuk yang kedua kalinya dalam hidup. Cukup yang pertama tentang kamu di saat itu. Tapi, tidak yang kedua tentang kamu lagi. Aku tahu suatu saat kamu pasti datang dan surat ini pasti akan kamu balas sama seperti surat-suratku yang terdahulu. Jadi, ini sepenggal untukmu, sepengal untuk keabadian kita dan sepenggal untuk waktu di mana kita selalu bermasturbasi dengannya.

Fseloin, seandainya aku dapat bertemu denganmu, aku tidak akan banyak bertanya padamu. Pertanyaan pertamaku padamu cuma satu! Aku cuma mau tahu:

siapa yang akhirnya berhasil bisa membunuhmu?

Aku sedih mendengar berita kematianmu sebab ternyata bukan aku yang berhasil membunuhmu! Ah, kamu tak akan paham betapa perasaan ini menggelayut mendengarmu pergi.

Ah, kenapa kamu tidak percaya saja padaku? Kalau saja kamu mau, kita pasti akan jadi pemenang. Eh, maksudku, tak ada seorangpun dari kita harus melalui akhir yang seperti ini.

Kamu benar-benar jahat membiarkan aku melihat kematianmu ketika kamu tahu aku tak bisa menjamahmu lagi! Kamu tai, Fseloin! Tai yang aku cintai sangat…. Sial!

Hi Jesus! I hope u’re fine out there.

Apa kabarmu juga? Aku dapati suratmu mengantung di ranting-ranting yang patah dari tubuh**. Aku rindu kamu ! Dan benar, kemarin beberapa hari lalu-, aku memang mati. Ternyata, rasanya asyik; tepat seperti yang kukira. Bagaimana dengan kamu? Apa masih merasakan adrenalin yang sama?

O`ya, tentang pertanyaanmu kemarin, aku tak bisa jawab! Bukan aku tak mau menjawab tapi sepertinya aku sendiri tak tahu siapa yang telah berhasil membunuhku. Kemarin-kemarin itu aku cuma merasa terpenjara. Tapi, aku jelas mati setelah membaca suratmu tepat sebelum kau menggantungkannya di ranting-ranting itu!

Niat-niat itu melesat cepat bahkan mendahului kumpulan bintang jatuh. Mereka menikamku tepat di sini! Menikam tepat di hati!

Tak usah cari aku lagi! Aku sebentar saja disini. Ini malam ketiga, aku harus cepat-cepat pergi! Aku harus selesaikan drama tiga-babak ini secepatnya. Baik-baiklah, Jesus!

Fseloin.

***

Kata-kata!

Sepertinya, yang membunuhmu adalah kata-kata. Harus kukatakan cuma kata-kata atau malah jangan-jangan justru karena ia adalah kata-kata? Fseloin, apa kamu tidak pernah bertanya di mana kebenaran hinggap? Mungkin kata-kata sama seperti kupu-kupu dan kebenaran boleh saja melekat padanya!

Fseloin!

Aku laki-laki yang telah membunuh diriku sendiri. Aku sudah mati! Kamu juga! Tapi ternyata kamu juga pembunuh, Fseloin. Kamu membunuhku dengan kematianmu.Tapi kita tak juga bertemu secara nyata. Ke mana kematian akan menakdirkan kita? Karena mata pelosok kebenaran cuma tinggal separuh. Dan, separuh itu tinggal milikmu. Kutunggu kau untuk mengambilnya disini.

Datanglah semaumu!

***

Jesus, aku dengar suaramu dari awan yang kemarin siang melaju di depan mukaku. Mereka kepanasan membawa suaramu. Warnanya menjadi merah seperti bisul yang dua hari lagi akan pecah! Kasihan mereka! Maka, kupetik saja ia sepenggal. Buntutnya jadi terlihat sedikit patah.

Ah, kenapa harus titipkan kata lewat awan? Kasihan mereka didera ingatan demi mengenang sebuah cerita. Aku tak mau menyimpan mereka dalam kantung bajuku. Ini, kukembalikan saja padamu!

No comments: