
Letters from Heaven
Sedang apa kamu di
Aku mau menutup hari dengan mendengar rintihan kecilmu.
Sudah tentu, itu melegakan aku. Kenapa kamu selalu tidak percaya? Ah, kamu sibuk sih.. sampai-sampai tak sempat sisakan waktu untuk sebentar membeku. Coba bayangkan peristiwa yang mengkristal!
Apa kamu bisa merasakan lelehannya mencair di mulutmu atau menyentuh lengan tanganmu? Dan, kemudian, ia membanjiri tempat di mana kamu berdiri, Fseloin? Haha, pasti rasanya seperti tercekam sekat, atau sama seperti ketika kamu sedang
tersedak jangkrik yang tiba-tiba melompat ke dalam mulutmu..
Pasti seperti merasakan gulungan-gulungan jejak yang mengambang dan minta diurai cepat-cepat! Maaf, aku melantur!
membayangkan hal itu.
apa kabarmu hari ini? Aku dengar kamu baru saja mati dua hari lalu? Tadinya kupikir kabar burung tapi baru sore tadi kulihat nisanmu jalan-jalan mengambang di udara. Di mana kuburanmu? Katanya di kampung X sebelah dusun Y, ya? Niatmu kesampaian dong, tinggal menetap ditepi sungai A: tepat di episentrum Empat Gunung di Jawa ini?
Ngomong-ngomong di mana kamu pesan nisan dari air dan pahatan nama dari api? Waduh, kamu bikin aku iri.. aku bahkan tak sempat memesan apa-apa sebelum aku tiba di tempat ini.
Aku masih tidak yakin apakah kamu benar-benar sudah mati?
Kalau kamu benar sudah mati kenapa kita tidak bertemu, ya?)
Aku tak mau mengulang gelo untuk yang kedua kalinya dalam hidup. Cukup yang pertama tentang kamu di saat itu. Tapi, tidak yang kedua tentang kamu lagi. Aku tahu suatu saat kamu pasti datang dan
siapa yang akhirnya berhasil bisa membunuhmu?
Kamu benar-benar jahat membiarkan aku melihat kematianmu ketika kamu tahu aku tak bisa menjamahmu lagi! Kamu tai, Fseloin! Tai yang aku cintai sangat…. Sial!
Apa kabarmu juga? Aku dapati suratmu mengantung di ranting-ranting yang patah dari tubuh**. Aku rindu kamu ! Dan benar, kemarin beberapa hari lalu-, aku memang mati. Ternyata, rasanya asyik; tepat seperti yang kukira. Bagaimana dengan kamu? Apa masih merasakan adrenalin yang sama?
Kata-kata!
Sepertinya, yang membunuhmu adalah kata-kata. Harus kukatakan cuma kata-kata atau malah jangan-jangan justru karena ia adalah kata-kata? Fseloin, apa kamu tidak pernah bertanya di mana kebenaran hinggap? Mungkin kata-kata sama seperti kupu-kupu dan kebenaran boleh saja melekat padanya!
Aku laki-laki yang telah membunuh diriku sendiri. Aku sudah mati! Kamu juga! Tapi ternyata kamu juga pembunuh, Fseloin. Kamu membunuhku dengan kematianmu.Tapi kita tak juga bertemu secara nyata. Ke mana kematian akan menakdirkan kita? Karena mata pelosok kebenaran cuma tinggal separuh. Dan, separuh itu tinggal milikmu. Kutunggu kau untuk mengambilnya disini.
Datanglah semaumu!
Jesus, aku dengar suaramu dari awan yang kemarin siang melaju di depan mukaku. Mereka kepanasan membawa suaramu. Warnanya menjadi merah seperti bisul yang dua hari lagi akan pecah! Kasihan mereka! Maka, kupetik saja ia sepenggal. Buntutnya jadi terlihat sedikit patah.
Ah, kenapa harus titipkan kata lewat awan? Kasihan mereka didera ingatan demi mengenang sebuah cerita. Aku tak mau menyimpan mereka dalam kantung bajuku. Ini, kukembalikan saja padamu!
No comments:
Post a Comment