Tuesday, March 20, 2007


NARIK

Serantang Tahi Dari Seperiuk Tahi

Oleh : Gemul

Dunia kehidupan sehari-hari (the world of everyday life) adalah suatu realitas dasar terpenting dalam kehidupan manusia. Di dunia inilah bahasa dan makna terbentuk, interaksi sosial dan komunikasi terjadi; lewat kesepakatan-kesepakatan yang dibuat, diakui, dan ditetapkan bersama, yang kemudian membentuk pula suatu harapan dan tingkah laku yang juga diakui sebagai milik bersama. Lalu apa-apa yang telah dianggap sebagai milik bersama itu ditetapkan, dilestarikan, diturunkan, dan dikembangkan secara sosial.

Bahasa sebagai salah satu aspek sosial, juga demikian. Ia mengalami proses diterima dan terberi begitu saja tanpa anggota masyarakatnya dapat menolak. Bahasa menjadi elemen utama dalam berkomunkasi, untuk berinteraksi.

Meskipun memiliki sifat tak terelakan secara sosial, bahasa bisa menjadi apa saja di tangan manusia. Ia punya aspek sebagai alat, sebagai medium yang bisa digunakan sesuai keperluan. Singkatnya, ia bersifat fungsional. Tak semata-mata untuk tukar-tukaran pengalaman, tak semata untuk bagi-terima buah pikiran. Tak selamanya bahasa hanya memiliki makna pada dasar pembentukan kehidupan sehari-hari. Mau tak mau, karena wataknya adalah budaya, ia akan bercampur baur dengan jenis penciptaan manusia lainnya: ilmu pengetahuan, kepercayaan, politik, teknologi. Karena fungsional, bahasa sangat mungkin untuk diperalat.

Bahasa terbentuk dan membentuk masyarakatnya, membawanya ke dalam struktur-struktur tertentu, dan menjadi salah satu syarat pencapaian dalam menduduki stratifikasi masyarakat yang tak mudah didapat.

Dalam konteks Indonesia sebagai bangsa misalnya, sejarah mencatat bahwa bahasa telah menjadi (dijadikan) salah satu indikator pembentuk dan pembeda antara yang pusat dan pinggiran, nasional dan daerah. Bahasa menjadi wadah penyatuan masyarakat-masyarakat yang telah memiliki bahasanya sendiri-sendiri. Kemudian menyebut wadah itu sebagai tujuan “puncak” yang harus dicapai, dan menggusur apa-apa yang berbau daerah dan menempatkan yang nasional di atas segala-galanya.

Keharusan yang nasional itu lantas dilegitimasi lewat pendidikan, lewat birokrasi, lewat formalisme, seiring dengan usaha-usaha pembentukan bangsa yang terus-menerus: satu bahasa, satu bangsa. Bahasa ibu sebagai bahasa rahim, yang ditempatkan sebagai ‘yang daerah’, yang tak (pernah) diakui sebagai bahasa resmi nasional, turut tergusur.

Tak cukup sekian. Pemaksaan kemampuan berbahasa Indonesia (yang asalnya dari Melayu) dikontrol ketat oleh kekuatan tertentu yang menunjuk diri sebagai ‘yang lain’ dan menempatkan dirinya berada di ‘luar’ untuk menentukan peran, posisi, persepsi dan tingkah laku masyarakatnya.

Orde Baru menyumbang jenis penertiban di bawah panji: gunakan bahasa yang baik dan benar, yang mencerminkan kepribadian bangsa! Dengan demikian, mereka yang merasa punya wewenang kuasa berhak menentukan apa itu yang disebut penyelewengan.

Penyelewengan bahasa adalah penghinaan terhadap bangsa: menyanyikan lagu kebangsaan sambil berak adalah pelecehan, mengganti-ubah syair lagu wajib adalah tindakan menghina, menyebut nama presiden dengan tidak hormat dan tanpa embel-embel bapak atau ibu adalah pelecehan, mencampur bahasa ibu dengan bahasa nasional selain presiden adalah penghinaan, meniru-niru logat presiden dengan tidak hormat adalah pelecehan, melakukan ini-itu adalah… melelahkan.

Sejarah seakan-akan tak pernah boleh lelah melakukannya. Sebelumnya, di jaman ketika para pejuang berperang untuk mempertahankan kemerdekaan dengan mati-mati sungguhan, masa ketika revolusi kemerdekaan berkobar, ada juga bentuk penertibannya, misalnya, atau katakanlah utamanya: dalam bidang seni (sastra). Karya-karya sastra harus menyuarakan semangat revolusioner, yang nasionalis-patriotik, dengan acuan konsep yang telah dibuat sangat tegas garis letak dan batasnya: manipol. Seni, yang mana sastra ada di dalamnya, yang sah bukan sampah adalah yang berhaluan realisme sosialis.

Sejarah memang tak pernah tegas dan pasti, apalagi beku. Tapi dalam sejarahnya, bahasa menjadi sesuatu yang harus tegas, mungkin baku.

Ada legitimasi kuat yang mendominasi bahasa untuk menjadi fungsional. Bahasa menjadi ideologis di bawah payung realisme, kecam Barthes. Ia menipu diri dan banyak orang dengan mengingkari sifat hakiki dari hubungan bahasa dan kenyataan yang semestinya arbitrer.

Realisme (sosialis) Georg Lukacs, misalnya, memandang seni sejatinya harus mencerminkan kenyataan. Ia harus merepresentasikan kenyataan yang telah dibuat porak dan hancur dari keutuhan dan totalitasnya oleh reifikasi kapitalisme. Karya seni dengan demikian adalah cermin dari kenyataan yang telah runtuh itu. Di luar itu, karya seni bukanlah karya seni. Kalaupun karya seni, ia adalah karya seni yang bobrok, produksi kapitalisme belaka, palsu.

Realisme telah membuat bahasa menjadi berwatak alamiah. Bahasa diangkat pada tataran yang stabil dan tinggal tetap bagi kenyataan. Bukankah bahasa adalah budaya – soal-menyoal yang bersangkut-paut dengan bikin-bikinan manusia, buat-buatan juga, konstruksi belaka? Juga, makna yang terhasilkan olehnya hanya permainan tanda-tanda saja?

Pandangan bahwa bahasa adalah alat penyampai pesan atau gagasan yang mengacu pada kenyataan tertentu yang pasti di luar bahasa memang tak harus dan tak bisa dipegang terus. Artinya, tak sepenuhnya bahasa ada dalam makna literal. Ia juga berwajah metafora-simbolik.

Adanya wajah metafora-simbolik ini mengisyaratkan bahwasanya bahasa bukan alat-medium penyampai pesan, pengalaman atau buah pikir semata. Tak wajib dan tak mesti dihubung-hubungkan dengan sesuatu yang ada ‘di luar sana’. Bahasa adalah ‘pikiran’ itu sendiri. Bahasa adalah pengalaman.

Hal inilah salah satunya yang kemudian memunculkan perbincangan pada wilayah penciptaan dan pembacaan sastra. Antara pengarang dan pembaca dan bagaimana posisi pengarang dan pembaca di hadapan karya.

Pertanyaan yang muncul untuk (atau dalam diri) pengarang, misalnya: sebelum karya lahir, bagaimana seorang pengarang meletakkan dirinya untuk menulis, bagaimana ia ketika menulis? Apakah sebaiknya pengarang menulis selalu dalam keadaan gembira, seperti ajakan Sutardji agar setiap penyair membikin sajaknya dengan gembira? Atau seperti Ayu Utami yang merasa frustasi menulis dalam keadaan kesepian, tapi membuatnya lebih bebas dan jujur? Atau seperti si Ayu, lagi, yang kemudian merasa ragu dengan kesepiannya: betulkah pengarang menulis dengan tak berpembaca?

Seperti katanya: ketika berbahasa, manusia tidak lagi subjek yang tunggal. Ia terbelah seperti amuba, selalu jatuh dalam sengkarut bahasa [massa] yang tak bisa ditolaknya. Alih-alih ingin membebaskan kata dari makna yang membebaninya, ia malah akan terpenjara oleh makna, oleh kata, oleh bahasa yang asal-asalnya dari bahasa massa (sosial) juga. Kata tak pernah hadir tanpa pisah dari makna, setidaknya pernah ada hubungan intim dengan makna, demikian kira-kira kata si Ayu, yang menolak gagasan bang Tardji bahwa puisi adalah mantra adalah kata yang tanpa makna. Karena sekali lagi, kata atau bahasa ada dan dihadirkan oleh manusia yang telah bersepakat.

Seorang pengarang, mau-tidak-mau, akan berurusan dengan makna pengertian dasar manusia yang terbentuk dalam kehidupan sehari-hari, dalam pengetahuan yang disebut common sense lewat bahasa sehari-hari. Dengan kata-katanya si Goen, seni dan kesusastraan berpijak dan berasal dari situasi-situasi konkret dalam arus kehidupan kita [manusia]. Yaitu, situasi-situasi yang tak sepenuhnya bisa direncana, tak bisa dipastikan apa yang akan datang dan terjadi. Bukankah sejarah tak pernah berjalan lurus, menuju suatu kondisi yang disebut ‘baik’ dan atau ‘maju’?

Lalu, apa yang membuat manusia betah dalam ketidak-sadarannya tunduk menggunakan bahasa sehari-hari dan takluk dalam otomatisasi bahasa? Tinggal dalam sesuatu yang terberi, hidup yang seperti seperiuk tahi?

Manusia memang makhluk yang tak pernah bisa utuh terus dalam dirinya, tunggal dan monoton. Manusia bukan subjek yang pasif meski harus menerima dengan rela hidup yang terberi, hidup yang tak pasti dan tak selalu bisa direncana dengan suka-suka.

Ia punya imajinasi, juga energi untuk mewujudkannya. Jika dunia kehidupan sehari-hari adalah realitas dasar terpenting dalam kehidupan manusia, maka common sense, mengikut Schutz, adalah makna dasar pengertian manusia, landasan tempat pemikiran dikembangkan melalui imajinasi. Dalam imajinasilah manusia memiliki kemampuan menciptakan image atau citra dimana banyak terjadi idealisasi-idealisasi dan bahkan ilusi-ilusi yang datangnya dari common sense, yang datang kemudian diterima begitu saja. Dengan kata lain, imajinasi adalah konstruksi sosial dalam pikiran manusia yang bekerja pada wilayah makna (istilah ini dipinjam Schutz dari William James) tertentu menurut relevansinya. Melalui konstruksi ini, citra bisa dibangun sesuai dengan wilayah makna yang menjadi titik-beratnya.

Imajinasi sastra akan melahirkan citra yang bersifat simbolik. Ia akan menekan wilayah makna lain yang tidak sesuai dengan cara kerja simbolik. Cara kerja abstraksi yang melahirkan konsep-konsep, teori, atau model, yang bekerja dalam imajinasi ilmu jelas akan diterobosnya. Imajinasi sastra adalah imajinasi yang melampaui batas-batas deskriptif suatu definisi atau konsep yang ketat yang mendisiplinkan, mengawasi, dan menguji. Imajinasi sastra adalah mencoba, mencipta, membebaskan.

Imajinasi ini kemudian membentuk dunia yang disebut fiktif (fictio –latin) melalui pendistorsian dunia sehari-hari. Ada segi-segi yang dihilangkan, direlasikan, dioposisikan, atau dimanipulasi sedemikian rupa agar beroleh makna-makna semiotis yang tanpa sudah. Barangkali, di sinilah letaknya pengarang menulis: bergelut dengan bahasa menggunakan imajinasinya. Kalau ia pengarang sastra, jelas yang harus ia utamakan adalah imajinasi sastranya, dan bukan yang lain.

Dan begitu suatu karya lahir, ia menjadi dunia fiktif yang terbuka, teks yang terbuka. Tempat setiap orang bebas mengupas dan menentukan makna untuk dirinya. Dunia yang bebas dijelajah dan dinilai lewat tafsir untuk memproduksi makna (-makna) baru.

Dalam dunia inilah kita bisa bertemu seseorang yang dengan sukarela makan serantang tahi dengan gairah sungguh. Seperti dalam kehidupan sehari-hari, ketika suatu kali, kita pernah bertemu dengan seseorang dan melibatkan diri dengannya. Aku pernah bertemu dengan seseorang itu –kini kami bersahabat, seorang sahabat yang memakan serantang penuh tahiku dengan tawa, lagu dan guraunya. Aku pikir ia gila, tapi ia kira aku yang gila. Aku pikir ia gila karena lapar empat hari tak makan dan makan tahiku. Aku katakan ia gila, ia tertawa. Tapi tak gila, tak lagi lapar. Sebentar ia minta rokokku dan merokok. Minta uang buat kopi tapi menolak ketika kuberi lebih. Dia pergi.

Lalu siapa yang kau temui?

No comments: