Tuesday, March 20, 2007


NGEPLANG


Aku Janji Menciummu Tahun Depan, Nduk!

(Hanya Sebuah Percakapan)

oleh : Emka Wahyu Jati.


Malam memaksa kita untuk saling membeberkan cerita, namun bukan cerita cinta! Belum bercerita cinta maksudku. Kita berbincang tentang ketergantungan dan atau keterpengaruhan yang menghentak! Kamu berbicara tentang dirimu yang perempuan, tentang dirimu yang protes karena perempuan, tentang dirimu yang lelah sebagai perempuan yang protes karena budaya tidak berpihak kepada perempuan. Sebuah hentakan perasaan!

Malam masih memaksa kita untuk membeberkan cerita! Kita bercakap tentang ketergantungan dan atau keterpengaruhan yang menghentak. Aku membicarakan diversitas sebagai perbedaan yang gemuruhnya adalah keinginan-keinginan yang menggantung, keterperangahan atas beberapa peristiwa dan pelaku peristiwa yang menghitung jejak dan hari-hari di balik jeruji ketergantungan. Juga, tentang ingatan atas gedung satu, gedung agung, bedug, lonceng, istana dan beberapa penjara yang melahirkan kekuasaan dimasa lampau serta juga masa kini. Semuanya adalah tempat bagi terbangunnya imagi dan inspirasi.

“Ingatan dan kelupaaan adalah juga pengetahuan ‘kan, Nduk? Maksudku,jika kita pernah mengingat satu hal dan masa yang lain ada yang terlupakan, itulah normalitas manusia yang luput dari pembacaan.

Seperti ingatan akan sebuah jalan yang dibangun untuk kelancaran transportasi, toh tak bisa dikatakan sebagai satu-satunya situasi yang mendorong laju keinginan manusia. Kita butuh kendaraan yang menjemput kita di terminal, stasiun, bandara dan pelabuhan. Jalan mungkin hanya perantara dari gerak maju jaman yang terus menerus mengalir bagai air di kaki gunung merapi merbabu –andong berkelok menuju pelabuhan di pantai selatan. Jalan, seperti juga sungai, adalah perantara yang mempercepat perjalanan amal baik dan sejarah manusia. Mungkin juga di sana ada perjanjian dan tawar menawar yang berlaku sebagai batas dan pagar amal baik. Ingatlah, amal baik dihadirkan oleh keinginan yang kuat; iman dan ketulusan. Jika kita pantas mendapatkan surga dan neraka sebagai hukuman atas amal baik dan amal buruk kita, saat ini mari kita bicara tentang kebaikan dan keburukan maupun suatu hubungan yang berlawanan namun tak bisa dipisahkan dari nyata dan sejatinya hidup sebagai kerja.”

Panjang lebar aku melepaskan hentakan dalam pikiranku tanpa bermaksud sombong akan pengetahuan, namun semata kejujuran akan sebuah pengetahuan.

Kutunggu beberapa waktu untuk mendapatkan komentarmu. Tak terdengar apapun. Hanya desahan angin malam yang dihembuskan tanpa bisa kubedakan itu dari mulutmu atau dari puncak-puncak gunung dimana kita berada, di lerengnya. Di bawah mendung musim kelima dalam hitungan jawa waspa kumembeng ing sajeroning kalbu.

Sesaat aku menjadi bosan berbicara tanpa ada kesepakatan emosional. Aku kira dia juga bosan dengan pembicaraan tanpa ada benang merah wacana maupun konteks. Kucoba memaksa dia untuk kembali sebagai perempuan dan aku sebagai laki-laki.

Inilah awal dari malam yang memaksa kami bertutur tentang cinta.

“Dulu kamu pernah kuajak menjalin hubungan, kenapa kamu menolak, Nduk? Itu bentuk kesombongan sesaat perempuan atau kesepakatan para perempuan?” aku memulai dengan sebuah pertanyaan sarkastik.

“Maksudmu apa?”

“Bagiku kebanyakan perempuan itu munafik! Selalu memulai dengan penolakan, bahkan ketika hatinya mengatakan tertarik”

“Kamu sukanya memukul rata semuanya, Ko! Kalau ingatan dan kelupaan itu bentuk pengetahuan, mungkin kamu lupa menegasikan bahwa kesombongan itu juga bentuk dari pengetahuan. Perempuan dipaksa, Ko! Untuk menjadi sombong dan munafik. Karena itulah posisi tawar atas kebusukan nafsu dan gairah laki-laki yang diecer!”

Sungguh menarik dan keras ucapan perempuan yang juga kukagumi kecantikannya ini.

“Lumayan rasional,” jawabku dengan menahan ekspresi kekagumanku dan aku pura-pura menganggukkan kepala. “Kalau begitu, bagaimana dengan ketertarikanmu dulu padaku, Nduk? Bukankah ketakutan akan cap yang dibaptiskan padaku mengalahkan perasaan itu?”

Terjadi perubahan ekspresi wajah pada raut cantik di depanku.

“Kita harus jujur lho, Nduk! Wis padha gedhene, to?” kuajak dia untuk membangun kesepakatan emosional.

“Jujur, Ko! Tekan saiki aku isih tertarik karo kowe!” jawabnya tanpa melihatku. “Dalam batasan tertarik, iya! Belum bisa dikatakan cinta atau istilah yang lainnya,” buru-buru ia menambahkan.

Aku tersenyum tanpa pura-pura; tak peduli dia mengartikan ini sebagai bentuk kemenangan atau kelucuan. Aku tidak peduli. Karena aku tak pernah memaknai arti suatu senyuman.

Ngumbara ing awang-awang, angelangut bebasan tanpa tepi

Nerabasing mega mendung, mubeng ngiteri jadad

Ngulambara-nglembara ngunggahi gunung

Katungkul ngudhar gagasan

Satemah digawa ngimpi

Sebuah kidung pangkur dikidungkan oleh seseorang di dalam padepokan. Di mana kami berada di serambinya. Aneh rasanya, ada sebuah perasaan merinding di sela-sela sebuah kidungan malam di kampung lereng gunung ini.

“Sebagai perempuan, aku selalu sakit melihat kamu dan daya tarikmu merangkul perempuan, merayu. Aku selalu menutup telinga ini saat mendengar kamu mengatakan: mari kita bergandengan mengitari semesta, satu rindu kita ini untuk bersama, satu rindu kita ini untuk berdua. Atau saat kamu bilang: kita telah menikah, sayang! Bukan dinikahkan oleh lembaga pemerintah maupun agama, namun kita telah dinikahkan oleh sejarah.”

“Menyakitkan, Ko! Kamu itu gila! Aku mengakui kamu menarik, kamu cerdas dan selalu mampu menempatkan kecerdasanmu secara tepat. Namun, perbuatanmu itu apakah pernah kamu pikirkan secara baik-baik? Mereka, para perempuan itu, bodoh, Ko! Mereka hanya belajar untuk dijadikan obyek, tidak lebih. Kamu jahat, Ko!”

Luka di pikiran tak bisa dibawa sembunyi, luka di hati tak bisa di bawa lari. Dari mana perempuan itu mengerti semuanya? Aku tak pernah menceritakannya kepada siapapun, atau....

“Benar yang kamu pikirkan, kami para perempuan selalu bercerita satu sama lain. Kami selalu membandingkan antar laki-laki sebagai bahan pembicaraan. Maksudku, kamu pun menjadi porsi dalam pembicaraan kami.”

Perempuan di depanku mengakui semuanya itu tanpa aku harus bertanya.

Aku hanya bisa mengiyakan semua tuturannya seraya memandang bibirnya yang seakan tak terbuka saat bertutur. Kupegang pipi perempuan itu tanpa keinginan apa-apa.

“Itu dulu, Nduk! Dan aku berterima kasih kepada mereka dengan tambahan minta maaf tentunya. Dan mereka menerima maafku. Kamu tahu kan, ada sesuatu yang tak terjelaskan dari bangunan hubungan itu,” aku mencoba membela diri.

“Perasaan itu keterhubungan, Nduk. Tidak searah. Kami saling mengerti, kami saling berpelukan, kami saling mencium, kami saling menyentuh, kami saling bercinta dan bersetubuh. Bukan hanya aku yang mencium, bukan hanya aku yang memeluk, bukan hanya aku yang menyetubuhi, dan semuanya bukan hanya aku. Kami selalu melakukan bersama. Bisa dimengerti, Nduk?”

Dia hanya menunduk. Tanganku masih menempel di antara pipi, telinga dan rambut panjangnya.

“Kamu terlalu sentimentil, Nduk! Lihat mataku!” kuteruskan percakapan rasa ini. “Situasinya sama seperti saat ini. Kamu tertarik denganku, aku tertarik denganmu. Dan kita menyepakati ini bukan perasaan cinta. Keinginan ini semata karena aku adalah laki-laki dan kamu adalah perempuan. Titik. Dan mungkin aku akan menciummu karena perbedaan itu. Mungkin kita akan berpelukan, mungkin kita lanjutkan dengan bercinta dan bersetubuh namun tanpa ada kata-kata cinta! Semata-mata karena aku adalah laki-laki,dan kamu adalah perempuan.”

Perempuan itu telah berada dalam pelukanku, memejamkan mata. Malam tetap menjadi malam dan mendung tetap menjadi mendung. Karena ini adalah musim kelima dalam hitungan Jawa, waspa kumembeng ing sajeroning kalbu, air mata mengantung di dalam pelupuk hati, mendung tidak akan menjadi hujan.

Keinginan ini tidak akan membuatku menjadi pemenang. Maksudku, aku tidak akan menjadi pemenang. Sudah terlalu sering aku dianggap sebagai pemenang oleh kaum dalam pelukanku ini. Kali ini tidak. Keinginan biarlah tetap menjadi keinginan. Biarlah keinginan menjadi kenangan.

“Kenapa kamu tidak menciumku, Ko?” suara lembut perempuan itu terucap. “Kita menginginkannya ‘kan, Ko?”

Aku diam. Kulepas pelukanku dari kehangatan tubuhnya. Ia memandang dengan penuh pertanyaan.

“Kenapa, Ko?”

“Tidak, Nduk! Aku tidak akan menciummu saat ini, biarlah keinginan ini tetap menjadi keinginan antara laki-laki dan perempuan,” jawabku.

“Kalau aku menciummu malam ini, aku tidak bisa menjamin suatu kelanjutan hubungan yang baik, yang tidak merusak apapun. Kalau aku menciummu malam ini, kamu akan menjadi kalah dan aku menjadi pemenang. Atau mungkin sebaliknya. Tolong dipahami!” lanjutku.

Cukup lama keheningan meminta ruang dan waktu di tempat dimana kami berada. Seakan memberi kami kesempatan untuk memikirkan seluruh percakapan kami malam ini.

“Aku paham, Ko.” Sambil menghela nafas panjang, perempuan itu bertutur, “Maukah suatu saat nanti kamu berjanji, jika aku telah menikah dan aku tidak peduli kamu sudah menikah atau belum, sekali lagi maukah kamu menjalin hubungan dengan aku sebagaimana yang kita inginkan tadi?”

Terus terang aku terhentak. Perempuan ini....? Aku menggelengkan kepala.

“Tolong ulangi,” kataku.

Tanpa ragu dia mengulangi, “Maukah kamu berjanji untuk suatu saat nanti, jika aku telah menikah dan aku tidak peduli kamu sudah menikah atau belum, sekali lagi maukah kamu menjalin hubungan dengan aku sebagaimana yang kita inginkan tadi?”

“Tidak tahu, aku tidak tahu... Namun, aku berjanji, aku akan menciummu tahun depan, Nduk,” jawabku.

“Maksudmu?”

“Ya, aku hanya berjanji akan menciummu tahun depan. Aku bilang aku janji menciummu tahun depan. Titik!” jawabku. “Sekarang sudah hampir pagi, kamu harus tidur. Besok kamu harus mendampingi pentas teater di padepokan itu, kan? Jadi malam ini kamu harus istirahat. Aku juga harus pulang!” selaku mencoba memotong gejolak perasaan.

Berat langkah kaki meninggalkan serambil pedepokan ini seberat pertanyaan yang tersisa di pikiran dan hatinya. Sebuah pertanyaan dan janji yang akan terjawab tahun depan. Pasti terjawab tahun depan! Saat dia mungkin telah menikah dengan kekasihnya, atau bahkan sebaliknya. Namun kubilang pada diriku, aku janji akan menciumnya tahun depan.

Tutup Ngisor Merapi

12 02 2002